Pagina's

dinsdag 22 juni 2010

Sejarah Serikat Maria Montfortan di Indonesia

Sejak awal abad XX, Ordo Kapusin (OFM. Cap.) secara resmi bertanggung jawab atas karya misi di Borneo – Kalimantan. Wilayah yang sangat luas dan medan yang sangat berat mendorong prefecture apostolic Borneo – Kalimantan, Mgr. Pasificus Bos, OFM. Cap. mengundang misionaris-misionaris dari kongregasi-kongregasi lain untuk ikut serta terlibat dalam karya misi di Kalimantan. Salah satu kongregasi yang diundang adalah SMM. Mgr. Pasificus Bos, OFM. Cap. mengundang SMM melalui provincial SMM Belanda. Pimpinan Umum SMM di Roma menyetujui usulan SMM propinsi Belanda untuk menerima undangan Prefektur Apostolik Borneo. Pada 23 September 1938, Tahta Suci melalui Propaganda Fide menyetujui permohonan yang diajukan oleh Prefektur Apostolik Kalimantan untuk menyerahkan sebagian karya misi di Borneo – Kalimantan, yakni daerah misi Sintang (sekarang keuskupan Sintang) kepada Serikat Maria Montfortan.
Daerah misi Sintang adalah daerah yang sangat luas, kira-kira 65.000 km. Pada saat itu, benih-benih iman mulai tertanam dan tersebar. Hal ini terbukti dengan sudah adanya 4 paroki, yakni paroki Sejiram (1888 – paroki pertama di Kalimantan), paroki Benua Martinus (1909), paroki Bika Nazareth (1925), dan paroki Sintang (1932).
Pada 7 April 1939, 3 misionaris SMM pertama dari Belanda, yakni P. Harry L’Ortye, P. Jan Linsen dan Br. Bruno, tiba di Pontianak. Inilah tahun di mana SMM untuk pertama kalinya hadir di bumi pertiwi ini. Setelah menempuh 900 km dengan perahu menyusuri sungai Kapuas, mereka tiba di Bika Nazareth, Kapuas hulu pada 29 April 1939. Paroki ini menjadi paroki pertama yang diserahkan Ordo Kapusin kepada SMM. Dua bulan kemudian, P. Jan Linsen mulai membangun paroki baru, yakni paroki Maria Tak Bernoda, Putussibau. Inilah paroki pertama yang dibangun oleh misionaris Montfortan. Untuk memperkuat karya misi, pada 7 Maret 1940, 2 missionaris Montfortan Belanda, yakni P. Josef Wintraaecken dan P. Lambertus van Kessel (kemudian menjadi uskup Sintang pertama) tiba di Bika.
Kendati daerah misi sangat luas dan berat, para Montfortan mencoba untuk melakukan yang terbaik. Semakin hari karya misi bertumbuh dan berkembang. Mereka kemudian merencanakan untuk mengambil alih beberapa paroki dari Kapusin. Akan tetapi, perang dunia II membuat rencana mereka tak terpenuhi. Jepang mengalahkan Belanda dan menduduki seluruh kepulauan nusantara. Semua orang Eropa, baik orang Belanda maupun Ingris – misionaris dan kaum awam, termasuk kelima misionaris Montfortan ditangkap dan dibawa ke Kuching, Malaysia. Mereka tinggal di kamp tawanan selama 3 tahun sampai perang selesai. Setelah perang usai, mereka kembali ke tempat karya mereka masing-masing.
Adalah penting untuk diketahui bahwa dalam masa perang, pada 1945, Aloysius Ding, orang Daya’ pertama menerimakan tahbisan imamat di Flores. Ia ditahbiskan sebagai imam keuskupan. Kemudian, ia memutuskan untuk menjadi Montfortan. Setelah menjalani masa Novisiat di Belanda, ia mengucapkan kaul pertamanya pada 1949. Ia adalah Montfortan Indonesia pertama. Ia wafat pada 1995.
Setelah perang usai, beberapa misionaris Montfortan Belanda kembali diutus untuk memperkuat karya misi Sintang. Pada Paskah 1947, seluruh karya misi di Kapuas Hulu dan Sintang secara resmi diambil alih oleh para Montfortan dari tangan Kapusin. Para Kapusin kemudian meninggalkan daerah misi Sintang.
Karya misi para Montfortan di dalam membangun Gereja lokal semakin hari – semakin bertumbuh dan berkembang. Pada 11 Maret 1948, Propaganda Fide meningkatkan status daerah misi Sintang menjadi Prefectur Apostolik Sintang dan mengangkat. P. Lambertus van Kessel sebagai Prefektur Apostolik. Pada tahun ini, terdapat 15 Montfortan dan 7 paroki. Para Montfortan tidak hanya membangun gereja-gereja, tetapi juga sekolah-sekolah. Pada saat itu, sudah ada 17 sekolah Katolik. Para Montfortan tidak bekerja sendiri. Mereka dibantu oleh para katekis. Terdapat kira-kira 25 katekis pada 1948. Dengan ditingkatkannya status misi Sintang menjadi Prefektur Apostolik, itu berarti bahwa terdapat dua pimpinan structural dalam karya misi, yakni Mgr. Lambertus van Kessel, SMM sebagai Prefektur Apostolik dan P. Harry L’Orthy sebagai Pimpinan SMM.
Tampaknya Tahta Suci begitu senang melihat pertumbuhan dan perkembangan Prefektur Apostolik Sintang. Pada 1956, Tahta Suci, melalui Propaganda Fide, kembali meningkatkan status karya misi Sintang dari Prefektur Apostolik menjadi Vikariat Apostolik.
 Mgr. Lambertus van Kessel diangkat menjadi administrator apostolik. Dan, lima tahun kemudian, tepatnya pada 3 Januari 1961, Vikariat Apostolik Sintang diangkat Statusnya menjadi Keuskupan Sintang. Mgr. Lambertus van Kessel diangkat menjadi uskup Sintang pertama. Ia menjabat sebagai uskup Sintang selama 12 tahun.
Berkembangnya panggilan imam projo dan hadirnya kongregasi-kongregasi lain di keuskupan Sintang menghidupkan kembali kesadaran para Montfortan akan identitas diri mereka sebagai imam religius Montfortan. Kesadaran ini mengundang para Montfortan untuk kembali ke akar – kembali ke nilai-nilai yang menjadi kekhasan SMM. Salah satunya adalah kembali membangun hidup komunitas dan mentransfer semangat hidup dan spiritualitas St. Montfort melalui proses pembinaan calon-calon SMM.
Pada 8 Desember 1979, novisiat SMM dibuka di Putussibau, Kalimantan Barat. Pada 1983, Novisiat dipindahkan dari Putussibau ke Sintang dan pada 1985 novisiat kembali dipindahkan ke Bandung – Jalan Gunung Kencana 10, Ciumbuleuit. Pada 1988, sebuah rumah di Jalan Sukasenang dibeli untuk dijadikan skolastikat. Di Sintang, untuk membangun dan menguatkan hidup berkomunitas, pada 1987, biara Menyurai, biara pertama SMM, berdiri.
Pertumbuhan panggilan berkembang dengan pesat. Hal ini mendorong SMM Indonesia untuk memikirkan dengan sungguh proses pendampingan yang baik dan rumah formasi yang kondusif. Pada 1990, skolastikat SMM pindah dari Sukasenang ke Jalan Surya Sumantri 83. Penambahan tenaga dalam rumah formasi pun dilakukan.
Buah-buah dari karya formasi-pembinaan sungguh menakjubkan. Hal ini membawa vitalitas baru dalam kehidupan SMM Indonesia. Karya misi SMM menjadi beragam dan mulai menyebar. SMM tidak hanya berkecimpung dalam dunia pastoral parokial, tetapi juga mulai terlibat dalam karya-karya kategorial, seperti pembinaan kaum awam dan kaum muda, terlibat dalam komunikasi social-budaya dan juga dalam agro-forestry. Di akhir 1999, SMM berkarya di tiga keuskupan, yakni Sintang, Bandung dan Ruteng.
Berkat rahmat Allah, panggilan pun terus mengalir. Hal ini mendorong SMM Indonesia untuk memutuskan memindahkan novisiat dari Bandung ke Ruteng pada 2002 dan memindahkan skolastikat dari Bandung ke Malang pada 2004.


Bertambahnya jumlah anggota mendorong SMM Indonesia untuk terlibat dalam tugas perutusan Kongregasi yang lebih luas. Sejak 2001, SMM Indonesia mengutus anggotanya untuk menjadi misionaris di Papua Newguinea, di keuskupan Daru-Kiungga. Saat ini terdapat lima imam misionaris Montfortan berkarya di keuskupan tersebut. SMM Indonesia pun mengutus anggotanya untuk terlibat dalam rumah pembinaan di Philipina. Saat ini, seorang imam SMM sedang menyiapkan diri untuk memperkuat team karya misi di Equador, Amerika Tengah.

Merefleksikan perjalanan sejarahnya, pantaslah SMM Indonesia menggemakan terus apa yang menjadi kerinduan St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Pendiri SMM, sebagaimana terungkap dalam doanya:
“Apa yang kuminta? Pribadi-pribadi yang bebas, tetapi terikat oleh cinta dan kehendakMu...dengan salib sebagai tongkat dan Rosario sebagai senjata untuk mengalahkan musuh. Pribadi-pribadi yang bebas seperti awan...menurut inspirasi Roh Kudus. Pribadi-pribadi yang selalu siap-sedia mentaatiMu...Anak-anak Maria sejati yang dikandung dan dilahirkan oleh karena cintanya. Hamba-hamba Maria....Sebuah kongregasi, sekumpulan orang-orang yang engkau pilih dan engkau panggil dari dunia ini.” (Doa Menggelora 7 – 12, 18).


Per Mariam Ad Jesum

Totus Tuus

Segalanya atau tidak sama sekali